SELENDANG PELANGI
Setting : - Banyuwangi,Pegunungan Ijen
- Menteng, Jakarta Pusat
Tema : Asa yang tak direstui
Tokoh :
Rinah : gadis 19 tahun
Teguh karya : cowok 25 tahun
Pak Kasim : lelaki 53 tahun
Ibu : wanita 33 tahun
Mbak Rini : wanita 22 tahun
Fachri : cowok 21 tahun
Rosie :gadis 20 tahun
Zulfikar :cowok 21 tahun
Dini hari,ketika ayam jantan mulai berkokok bersahutan.Lengkingan keras itu mengusik jiwa-jiwa yangasyik bergelut dengan mimpinya.Tiba-tiba,sepasang mata terjaga namun terlihat masih enggan untuk bangun.Rinah,untuk beberapa lama sepasang matanya sibuk memandang ke rah atap. Memerhatikan lubang besar karena tetes air hujan yang merembes bocor membasahi atap bambu kamar itu.Dan,tak begitu terlihat jelas karena hanya sebatang lilin yang hamper habis menerangi kamar itu.
Akh! Aku harus bangun.Pikirku dunia tak mungkin mau menerimaku kalau aku bermalas-malasan begini.Biarkan saja orang itu masih terlelap terbuai mimpi mereka. Ku benarkan itu! Mereka sudah terlampau kaya untuk bekerja sepagi ini.
Dengan ogah-ogahan Rinah menyingkirkan selimut kusamnya.Entahlah setua apa selimut ini,hingga tak seorangpun tahu warna aslinya.Disana-sini terdapat banyak lobang bekas obat nyamuk baker yang mengenainya. Dia mencoba melawan rasa kantuk dan malas. Tanpa alas kaki ia berjalan menuju dapur. Dengan mulai menyalakan api dan menaruh ketel(1) di atas tungku besar kemudian mengambil beras dan mencucinya. Sepertinya Rinah sudah terbiasa dengan keadaan yang seperti itu. Dengan tanpa banyak berfikir dia menyelesaikan tugasnya dengan cekatan.
Duhai,dunia gelap menjadi terang. Tersipu-sipu mentari menampakkan wajahnya menyinari alam semesta. Rinah mulai menyiapkan kebaya,kemben,dan alat-alt menarinya. Kemudian dia mendekat dan membuka lemari tua itu. Mencari sebuah kotak yang terismpan di rak bagian atasnya. Dibukanya perlahan-lahan dan disana terlihat raut wajah kesenangan yang tak terkira. Karena melihat sehelai selendang yang masih terlihat rapi di dalamnya. Selendang yang indah berwarna-warnikan pelangi. Selendang itu dia dapatkan dari ibunya ibunya sebelum bercerai 15 tahun yang lalu. Setelah menyerahkan selendang pelangi itu,ibunya pergi entah kemana. Ketika itu Rinah masih kecil. Yah!masih terlalu bodoh untuk mengerti artikehilangan seorang ibu. Sampai akhirnya sang waktu membisikkan dan mengisahkan padanya akan arti semua itu.
Kata orang aku milik sekali dengan ibu. Mungkinkah karena itu bapak selalu menyayangiku? Meskipun tak pernah dikatakannya padaku. Tetapi sungguh ju tahu benar betapa dalam kasih saying bapak kepadaku. Yah! Mesti kuterima apa adanya nasibku ini. Walaupun sampai sekarang aku tak pernah mengerti mengapa dahulu ibu meninggalkan aku dan bapak.
Pintu itu terkuak sambil mengeluarkan derit yang sangat keras. Dibalik pintu terlihat pak Kasim dengan kepis(2) yang penuh dengan ikan.
“Eh,bapak. Dari mana saja,pak?”
“Tadi bapak dari sungai. Mencari ikan untuk lauk kita nanti sore. Kenapa jam segini kamu belum berangkat,nduk?” tanya Pak Kasim.
“Iya Pak sebentar lagi. Oh,ya,pak. Ada yang ingin Rinah bicarakan sama bapak.”
Lelaki tua itu memandang lekat-lekat wajah anak gadisnya,lalu mengerutkan keningnya seakan ia tak mengerti raut muka yang tergambar di wajah Rinah.
“Apakah sepenting itu? Apa tidak sebaiknya kamu berangkat dulu,nduk. Sepertinya ini sudah siang .nanti saja kita bicarakan setelah kamu pulang latihan.” kata pak Kasim.
“Tidak bias,pak. Persoalan ini sudah terlampau lama mencekal hati Rinah.”
“Memang apa yang terjadi tho,nduk? Sampai kamu terlihat serisau ini.”
“Ini tentang orang yang melahirkan Rinah,pak.”sambil memantapkan pandangannya pada pak Kasim.
“Eh,” melemparkan pandangannya keluar jendela. NAmun ekspersi terkejutnya sudah terlanjur ditangkap oleh Rinah. Rinah pun merasa bersalah bahwa ia tak seharusnya menceritakan ini pada bapaknya.”maksudmu,ibumukah?” bermaksud mencari kepastian.
“Iya,pak,”tangannya dimasukkan ke dalam tas seperti mencari-cari sesuatu,”beberapa hari yang lalu Rinah mendapatkan surat.Kata mbak Rini itu dari ibu. Setelah Rinah baca,isinya meminta Rinah untuk pergi ke Jakarta setelah musim tari besok lusa selesai.Surat itu mengaatakan bahwa ibu sangat menunggu kedatangan Rinah di Jakarta. Ini pak suratnya,” sambil menyodorkan surat itu pada pak Kasim.
“Lantas,bagaimanakah keputusanmu,nduk?”
“Ndak tau lah,pak.Rinah bingung.”
“Kenapa harus bingung?menurut hemat bapak,tapi semuanya terserah kamu,nduk.Sudah 15 tahun kamu hidup sama bapak. Mungkin sudah saatnya kamu bertemu dengan ibumu. Pergilah ke Jakarta,nduk. Bapak tau kamu sudah lama memimpikan pergi ke kota seribu harapan itu. Bapak akan mendoakan kesuksesanmu dari sini.”kata pak Kasim dengan suara parau tapi tegas.
“Tapi,pak…….”
“Sudahlah,jangan ragu,nduk.”
“………”Rinah hanya sanggup terdiam mendengar semua penjelasan bapaknya yang renta itu.
Banyuwangi,musim dingin awal Desember
Kesibukan di lereng peunungan Ijen semakin terasa ketika festival sendratari dimulai.Dingin angin malam itu terasa menusuk-nusuk sampai tulang sumsum.Namun itu jauh terkalahkan oleh kerinduan pnduduk akan keindahan tarian gadis-gadis bumi pertiwi.Rinah selalu mengikuti acara itu setiap tahun bersama mbak Rini dari sanggar Melati Kusuma. Malam semakin larut,dan dingin semakinmenjalar,acara itu resmi dibuka.Diawali dengan ceramah ketua panitia.Kemudian dilanjutkan acara berikutnya yaitu pertunjukan dari semua sanggar.Semua menunjukkan kecantikan dan kebolehannya dalam menari dengan cirri khas masing-masing. Kelentikan dalam setiap gerakan dan keseimbangan,harmoni antara musik dan gerakannya.
Kemudian tiba giliran Rinah.Ia naik ke panggung dengan selendang pelanginya.Musik kejawen dibunyikan.Rinah pun melenggak-lenggokkan badannya dan mengibas-kibaskan selendang pelanginya.Para penonton benar-benar dibuatnya terpesona.Penari yang gemulai dan warna selendang itu menyiratkan seluruh kecantikan dan keagungan seorang Rinah. Ia seperti bidadari kahyangan yang sengaja turun dari langit ke pegunungan Ijen.Semua mata memandang dan tak sedikitpun memalingkannya.Bintang-gemintang yang menghiasi langit malam itu seakan memberi cahaya tarian Rinah.
Setelah selesai Rinah langsung ke ruang ganti menemui mbak Rini.Namun tak ia temukan disana.Rinah menengok ke seluruh sudut ruangan,tetap tak ada juga.Tiba-tiba mbak Rini dating dengan tiga orang yang Rinah tak merasa kenal.
“Rinah,kamu cantik sekali malam ini,sempurna!”kata mbakRini sambil memeluk tubuh Rinah.
“Terimakasih,mbak.”
“Sungguh,semua gerakan yang aku ajarkan tak ada yang kamu lupa.Dan selendang pelangimu semakin menawan.Oh,ya,aku lua belum mengenalkan padamu.Ini adalah keponakanku,Fachri.Lalu ini temannya,Rosie dan Zul.”
“Fachri,dari kampus Jakarta.”
“Rosie S. Drajat,gue temen Fachri.Salam kenal”
“Kalo gue Zulfikar,panggil aje Zul.”
“Rinah.”jawab Rinah singkat.Mereka berempat saling bersalam-salaman.
“Mm…..,Rosie,tidak salahkah kalau tadi aku dengar kamu kuliah di Jakarta?”Rinah memberanikan diri untuk bertanya meskipun sedikit canggug.
“Ya,lo bener.Emang ada apa?”
Sebelum menjawab pertanyaan Rosie terlebih dahulu pandangan Rinah terlempar ke wajah mbak Rini.
“Mbak Rini,kalau memang surat itu benar dari ibuku,aku ingin pergi ke Jakarta.Rosie,bolehkah aku ke Jakarta bersama dengan kalian bertiga?”tanya Rinah penuh harap.
“Tentu saja.”Fachri dan Rosie hamper bersamaan.
“Apa kamu sudah memikirkannya dengan matang,Rinah?”tanya mbak Rini yang separo ragu atas keputusan mRinah itu.
“Ya,mbak,dengan segala resikonya.Aku ingin bertemu ibu.Sudah sekian lama rindu ini berkoar-koar dalam hatiku.”jawab Rinah menerawang.
“Aku hanya bias mendoakan.Semoga kerinduanmu cepat terobati,Rinah.Aku ingin melihatmu bahagia. Tapi bagaimana dengan bapakmu?”tanya mbak Rini.
“Bapak sudah merestuiku,mbak.Meskipun aku sungguh merasakan berat hatinya.”jawab Rinah.
Kemudian mereka bersama-sama pergi ke depan panggung untuk mengikuti acara selanjutnya.
“Mm…..,Rinah,gimana kalo gue manggil lo Rein aja?”tanya Fachri.
“Ha?’merasa agak aneh”kenapa harus begitu?”
“Gue bener-bener sangat akgum sama lo malam ini.Gue nggak pernah nyangka kalau ada gadis secantil ;o di ;ereng pegunungan ini.Karena gue pengin lo melanglang buana bersama selendang lo yang indah ini seperti Rein.”jawab Fachri panjang lebar.
“Aah…,seperti dongen saja.Rasanya aku tak pantas mempunyai nama seindah itu.Tapi….,terserah kamu lah!Rein….,kelihatannya nama itu asyik juga.”
“Rein…,boleh gue ngomong sesuatu yang jujur sama lo?”sedikit berbisk lirih,”Rein gue suka sama lo.Meskipun gue sadar kalo gue baru kenal sama lo tapi gue yakin perasaan ini tentang adanya.Pelangi yang sudah lo tebar malam ini sungguh memesonaku.”ungkap Fchri.
Deg!
Seluruh aliran darahku berhenti mengalirkan darah.Nafasku pun melemah tetapi mengapa jantungku malah berdegup kencang.Tak pernah aku merasakan seperti ini.Ini sungguh tak nyaman aku rasakan.Aku ingin berteriak,tapi aku tak bias .Semuanya tercekal di tenggorokan atau bahkan telah tertelan.Kuperas tenaga,ku ibrak-abrik isi otakku namun tak ku temukan satu katapun untuk menjawab pernyataan Fachri.Oh…,Tuhan.Siapa saja tolonglah aku!Aku ingin ini cepat berakhir.Untung saja Fachri mengerti akan keadaanku.Ia membangunkanku dari pingsanku.
“Ya,udahlah,Rein.Jangan dipaksain.Gue tahu itu memang sulit diterima dengan sekejap.Lagipula gue cumin mau ngungkapin apa yang gue rasain,bukan maksa lo buat suka sama gue juga.”
“Makasih Fachri.”
12 Desember 1997,di dalam gerbong
Desember yang dingin….
Sedingin hatiku yang mengharap sekaligus menantikan bertemu ibu.Entahlah!setua apa ibu sekarang,15 tahun sudah berlalu.Waktu yang terlampau panjang bagiku untuk merindukanmu,ibu.Sekian tahun lamanya telah ku kubur rasa rinduku kepada orang yang telah melahirkanku.Selama itu pula rindu ini terajut dan terurai,hadir dan ku hempaskan,seperti pasang surut air laut yang ku tahu di tepi-tepi pantai.Sampai saatnya nanti kuhamburkan kerinduan ini di hadapanmu,biar engkau tahu betapa sudah menggunung dan menjadi hamparan samudra luasnya rindu ini.Dan,selendang pelangi ini selalu menemaniku…
Dalam gerbong kereta…
Kaca bermbun karena setengah jam yang lalu hujan turun menemani langkahku ke Jakarta.Tiba-tiba,ku teringa dimana aku sekarang.Jalur Deandles.Ya!begitulah jalur ini dikenal.Alih-alih lamunan,sesaat setelah itu pandanganku terlempar jauh ke luar gerbong. Rasanya diriku pun ikut terlempar jauh ke dalam sejarah masa itu.Ketika Deandles memaksa pribumi membangun jalur dari Anyer-Panarukan.Menari-nari di pelupuk mataku bayangan mayat-mayat tak berdosa berserakan,mati kelaparan karena kekejaman orang asing berhati iblis,yang sepertinya akan lebih nyaman kalau kusebut saja mereka itu penjajah.Ah….itu sejarah masa itu.
Duhai masa…
Engkaulah saksi kala itu
Persaksikanlah kematian mereka
Yang menjadi cerita,
……Sejarah,
Kenangan perih….
Inikah kutukan malam yang dingin….
Disuatu tempat yang baru
Bisakah kau mendengar lagu The Night’s Deep….
Semua baying-bayang berbicara
Bercerita untukmu ketika kau tertidur lelap
Aku tak ingin kesepian
Aku tak ingin berlalu
Kau memandangiku,
Kau tak bias memohon kepada Tuhan
Dia diciptakan untuk menodai tangan-tangan kami,
Dengan darah orang lain
Betapa banyak cabikan-cabikan
Dia mencucurkannya kepada kami
Belum sempat selesai coretan itu,angin dari luar jendela berhembus kencang,masuk,dan menerbangjan kertas itu.Beruntunglah seorang pria yang duduk dua kursi di depan menangkapnya.Rinah bermaksud memintanya kembali.
“Maaf,mas,itu tulisan saya.”
“Oh….,ini miliknu?kamu suka nulis,ya?wah….terlihat indah sekali tulisan ini.Oh,ya,sebelumnya perkenalkan namaku Teguh Karya.Kamu?”
“Saya Rinah.”
“Aku kerja di Graha Pena.Aku tertarik dengan tulisanmu.Aku yakin kamu punya bakatmenulis.Saat ini aku sedang mencari atau katakana saja berburu penulis-penulis berbakat sepertimu.Maukah kau bergabung?”
“Saya memang ingin sekali jadi seorang penulis hebat.Itu cita-citaku sejak kecil.Tapi saya ragu,saya bukanlah orang berbakat seperti yang kamu katakana tadi.Sayamemang mengidolakan sekali Barbara si Ratu Roman sedunia itu.Tapi itu tak mungkin….”
“Kau salah,semua bias saja terjadi,Coba saja ke kantorku.Inu alamatnya.Berjuanglah!siapa saja boleh mewujudkan mimpi,kan?”
“Aku rasa kamu benar,makasih”
13 Desember 1997,Jakarta
Sesampaiku di ibu kota,aku dibantu Rosie mencari tempat kost di daerah Menteng. Karena kupikir tak mungkin mudah mencari ibu di kota seluas Jakarta.Dan….aku sedikit memikirkan tawaran Teguh untuk jadi seorang penulis.Ah!aku berharap mimpiku jadi kenyataan.
Esoknya aku dating ke kantor Teguh dan ia menerimaku dengan senang hati.Tapi,seperti yang kubayangkan.Aku harus mondar-mandir keluar masuk untuk mempromosikan karya-karyaku ke semua percetakan di Jakarta.Dan seperti nyatanya yang kuterima hanyalah kritikan pedas dari para sastrawan itu.Dibilang amatirlah,nggak mengenalah,intinya mengambanglah,dan semua ejekan-ejekan mereka menghujam hatiku.Sungguh terasa membakar seluruh harapanku selama ini.Di tengah-tengah keterpurukan dan keputusasaan Teguh disampingku menghibur dan berulang kali dia menawarkan pekerjaan di percetakannya.Bukannya aku tak mau menerima kemauan baiknya.Tetapi aku tak bias terus-terusan menjadi benalu dengan mengandalkan kebaikannya.Dan itu akan membuatku semakin tersiksa karena aku mulai suka padanya.Ah….aku tahu itu cinta!tapi kutahu pula Teguh mencintai seseorang dan itu bukan aku.Dari situ kuputuskan bahwa aku harus kuat dengan kakiku sendiri.
Maret 1998,pertemuan hitam
Kini aku jadi penulis terkenal.Aku berhasil menggapai cita-citaku.Dengan perjuanganku sekuat tenagaku untuk mewujudkan mimpi ini…Dan saat ini aku terlampau bahagia sampai ke ubun-ubunku.Tepat di malam itu,malam penganugerahan Piala Sastra Terbaik.Ketika aku melangkah maju ke depan untuk menerima sebuah penghargaan secara tak sengaja sepasang mataku menyisir undangan.Tiba-tiba…..
Bidadari itu….!Bidadari yang kurindukan telah kutemukan!Aku berlari berhamburan ingin memeluknyaTapi…..setelah kupeluk ibu dan kuhempaskan seluruh rinduku.Sebelum sempat kukatakan sepatah katapun….
“Kau durhaka,Rinah!”ibu marah.Kemarahan yang tak kumengerti,tak sanggup pula kujelaskan,”aku menyuruhmu ke Jakarta bukan untuk menjadi kuli tinta.Tapi aku inginkan kau terkenal dengan selendang pelangi itu.Kau egois,Rinah!Kau ta mengerti keinginan ibu.Dan kau lupakan janjimu untuk selamanya menjaga selendang pelangi itu.Yah!kau melupakannya.Dan kini selendang pelangi itu tak kau perlukan lagi.Daripada sakit hati ibu,biar musnah saja selndang pelangi ini dan lupakanlah ibu.”
Bidadariku menarik selendang pelangi yang melingkar menghangatkan leherku,Laalu merobek-robek selendang di depan sepasang mata yang kini mulai memerah dan air mata yang membanjir.Aku tak bias berbuat apa-apa.Aku tak bias memperjangkan selendang pelangi yang selama 15 tahun telah menjadi sebagian dari nyawaku.Ditangannya robekan-robekan selendamg pelangiku dihempaskannya.Lalu pergi secepat dia datag dan memusnahkan selendang pelangi yang kurajut di langit-langit kehidupanku.
Robekan-robekan pelangiku menari-nari terbang mngitari mataku.Seakan mereka ikut tertawa pilu bersama hatiku yang hancur.Terlintas kembali di pelupuk mata ketika seorang Rinah dari Banyuwangi menari dipegunungan Ijen bersama selendang pelanginya.Dan ketika itu dia seperti seorang dewi yang turun ke bumi.Dia kibas-kibaskan selendang pelangu itu ke kiri dank e kanan seperti sedang menepis angin sambil memaksanya ikut menari dalam lenggok-lenggok tubuhnya.Hamparan para penonton seperti altar yang menghuyung-huyungpun ikut pula bersamanya.
Tapi saat ini Rinah si penariberselendang pelangi telah mati.Dewi penghias malam penebar pelangi telah raib.Aku menghilang tertelan kesedihanku.Rein,si penulis berbakat itu telah tamat.Dan menghilang entah kemana……..
Tamat